NASIHAT UNTUK PARA ISTRI
Tanggung Jawabmu di Rumah Suamimu
oleh Dzakiyyah As-Sakinah Full pada 20 Februari 2013 pukul 6:35 ·
Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya
untuk aktivitas di luar rumah, jika mau disadari, sejatinya berpengaruh
besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih jika keperluan anak dan
suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu/babysitter. Lantas di
manakah tanggung jawab untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi
anak-anak mereka?
Banyak orang bodoh meneriakkan agar wanita
jangan dikungkung dalam rumahnya, karena membiarkan wanita diam
menganggur dalam rumah berarti membuang separuh dari potensi sumber daya
manusia. Biarkan wanita berperan dalam masyarakatnya, keluar rumah bahu
membahu bersama lelaki membangun negerinya dalam berbagai bidang
kehidupan!!!
Demikian igauan mereka. Padahal dari sisi mana
mereka yang bodoh ini dapat menyimpulkan bahwa separuh potensi sumber
daya manusia terbuang?
Dari mana mereka dapat istilah bahwa
wanita yang diam di rumah karena mengurusi rumahnya adalah pengangguran?
Ya, karena memang dalam defenisi kebodohan mereka, wanita pekerja
adalah yang bergiat di luar rumah.
Adapun yang cuma berkutat
dengan pekerjaan domestik, mengurus suami dan anak-anaknya bukanlah
pekerja tapi penganggur. Tidak memberikan pendapatan bagi negara.
Tahukah mereka bahwa Islam justru memberi pekerjaan yang mulia kepada
wanita, kepada para istri di rumah-rumah mereka? Mereka diberi tanggung
jawab.
Dan dengan tanggung jawab tersebut, bisakah diterima
bila mereka dikatakan menganggur, tidak memberikan sumbangsih apa-apa
kepada masyarakat dan negerinya? Dalam bentuk pendapatan berupa materi
mungkin tidak. Tapi dalam mempersiapkan generasi yang sehat agamanya dan
fisiknya? Tentu tak dapat dipungkiri peran mereka oleh orang yang
berakal sehat dan lurus serta mau menggunakan akalnya.
Suatu peran yang tidak dapat dinilai dengan materi.
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ
رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ
رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ،
وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya.
Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya.
Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya.
Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak
suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah
ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut.
Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya
tentang ra’iyahnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu anhu)
Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus
memegangi perkara yang dapat membaikkan amanah yang ada dalam
penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang
dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya.
(Al-Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140)
Berdasarkan makna ra’in di atas, berarti setiap orang memegang amanah,
bertindak sebagai penjaga, dan kelak ia akan ditanya tentang apa yang
diamanahkan kepadanya. Seorang pemimpin manusia, sebagai kepala negara
ataupun wilayah yang lebih kecil darinya, merupakan pemegang amanah dan
bertanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyatnya dan kelak ia akan
ditanya tentang kepemimpinannya.
Begitu pula seorang suami
sebagai kepala rumah tangga, ia memegang amanah, sebagai penjaga serta
pengatur bagi keluarganya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban
atas apa yang dipimpinnya.
Berikutnya seorang istri, selaku
pendamping suami, ia memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah
suaminya berikut anak-anak suaminya dan ia pun kelak akan ditanya
tentang pengaturannya dan tentang anak-anaknya.
Al-Khaththabi
berkata, “Mereka yang disebutkan dalam hadits di atas, seorang
imam/pemimpin negara, seorang lelaki/suami dan yang lainnya, semuanya
berserikat dalam penamaan atau pensifatan sebagai ra’in. Namun makna
atau tugas/peran mereka berbeda-beda.
Amanah dan tanggung jawab
imam a’zham (pemimpin negara) adalah untuk menjaga syariat dengan
menegakkan hukum had dan berlaku adil dalam hukum. Sementara
kepemimpinan seorang suami terhadap keluarganya adalah pengaturannya
terhadap perkara mereka dan menunaikan hak-hak mereka.
Adapun
seorang istri, amanah yang ditanggungnya adalah mengatur urusan
rumahnya, anak-anaknya, pembantunya dan mengatur semua itu dengan baik
untuk suaminya. Seorang pelayan ataupun budak, ia bertanggung jawab
menjaga apa yang ada di bawah tangannya dan menunaikan pelayanan yang
wajib baginya.” (Fathul Bari, 13/141)
Al-Qadhi Iyadh
radhiallahu anhu mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang
yang mengurusi sesuatu dari perkara orang lain, ia dituntut untuk
berlaku adil di dalamnya, menunaikan haknya yang wajib, menegakkan
perkara yang dapat memberi maslahat kepada apa yang diurusinya. Seperti,
seorang suami dalam keluarganya, istri dalam pengurusannya terhadap
rumah dan harta suaminya serta anak-anaknya, budak dalam pengurusan dan
pengaturannya terhadap harta tuannya.”
(Al-Ikmal, 6/230)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
“Setiap ra’in bermacam-macam yang diaturnya dan amanah yang
ditanggungnya. Ada yang tanggung jawabnya besar lagi luas dan ada yang
tanggung jawabnya kecil.
Karena itulah Nabi bersabda:
الأَمِيرُ رَاعٍ, ia akan ditanya tentang ra’iyahnya (rakyatnya/ apa yang
diatur dan dipimpinnya), seorang suami juga ra’in tapi ra’iyahnya
terbatas hanya pada ahli baitnya, yaitu istrinya, anak laki-lakinya,
anak perempuannya, saudara perempuannya, bibinya dan semua orang yang
ada di rumahnya.
Ia ra’in bagi ahli baitnya dan akan ditanya
tentang ra’iyahnya, maka wajib baginya untuk mengatur dan mengurusi
mereka dengan sebaik-baik pengaturan/pengurusan, karena ia akan ditanya
dan diminta pertanggungjawaban tentang mereka.
Demikian pula
seorang istri merupakan ra’iyah di rumah suaminya dan akan ditanya
tentang urusannya. Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan baik,
dalam memasak, dalam menyiapkan kopi, teh, dalam menyiapkan tempat
tidur.
Janganlah ia memasak lebih dari yang semestinya. Jangan
ia membuat teh lebih dari yang dibutuhkan. Ia harus menjadi seorang
wanita yang bersikap pertengahan, tidak mengurangi-ngurangi dan tidak
berlebih-lebihan, karena sikap pertengahan adalah separuh dari
penghidupan.
Tidak melampaui batas dalam apa yang tidak
sepantasnya. Si istri bertanggung jawab pula terhadap anak-anaknya dalam
perbaikan mereka dan perbaikan keadaan serta urusan mereka, seperti
dalam hal memakaikan pakaian kepada mereka, melepaskan pakaian yang
tidak bersih dari tubuh mereka, merapikan tempat tidur mereka,
memerhatikan penutup tubuh mereka di musim dingin.
Demikian,
ia akan ditanya tentang semua itu. Sebagaimana ia akan ditanya tentang
memasaknya untuk keluarganya, baiknya dalam penyiapan dan pengolahannya.
Demikianlah ia akan ditanya tentang seluruh apa yang ada di dalam
rumahnya.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/106,107)
Jelas, wanita
sudah memiliki amanah dan tugas tersendiri yang harus dipikulnya dengan
sebaik-baiknya. Dan yang menetapkan amanah dan tugas tersebut bukan
sembarang orang tapi manusia yang paling mulia, paling berilmu dan
paling takut kepada Allah ta'ala, yaitu Rasulullah shalallahu alaihi
wassallam sebagai pengemban syariat yang diturunkan oleh Allah ta'ala
dari atas langit yang ketujuh.
Dan beliau tidaklah menetapkan syariat dari hawa nafsunya, melainkan semuanya merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau .
Dan para ibu rumah tangga jangan termakan dan tertipu dengan teriakan
orang-orang bodoh di luar sana sehingga timbul rasa minder berhadapan
dengan wanita-wanita karir dan merasa diri cuma menganggur di rumah.
Padahal di rumah ada suami yang harus ditaati dan dikhidmatinya. Ada
anak-anak yang harus ditarbiyah dengan baik. Ada harta suami yang harus
diatur dan dijaga sebaik-baiknya. Dan ada pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga yang butuh penanganan dan pengaturan. Semua ini pekerjaan yang
mulia dan berpahala bila diniatkan karena Allah azza wa jalla.
Dan para ibu rumah tangga harus ingat bahwa mereka kelak pada hari
kiamat akan ditanya tentang amanah yang dibebankan kepadanya,
berdasarkan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wassalam di atas dan
juga ada hadits lain yang berbunyi:
مَا مِنْ رَاعٍ إِلاَّ يُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَقَامَ أَمْرَ اللهِ أَمْ أَضَاعَهُ
“Tidak ada seorang ra’in pun kecuali ia akan ditanya pada hari kiamat,
apakah ia menunaikan perintah Allah ta'ala atau malah
menyia-nyiakannya.”
(HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu
Hurairah radhiallahu anhu, sebagaimana dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari ketika memberi penjelasan
terhadap hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhu di atas )
Dan juga hadits:
إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ أَوْ ضَيَّعَهُ
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap ra’in tentang apa yang
dibawah pengaturannya, apakah ia menjaganya atau malah
menyia-nyiakannya.” (HR. Ibnu ‘Adi dengan sanad yang dishahihkan oleh
Al-Hafizh rahimahullah dalam Fathul Bari, dari Anas bin Malik
Radhiallahu anhu)
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa
seorang yang mukallaf, termasuk dalam hal ini seorang istri sebagai ibu
rumah tangga, akan menanggung dosa karena sikap penyia-nyiaannya
terhadap perkara yang berada di bawah tanggungannya. (Fathul Bari,
13/141)
Karenanya tunaikan amanah dan tugasmu dengan
sebaik-baiknya. Dan sadarilah bahwa peran wanita dalam masyarakat Islam
amatlah besar dan penting.
Di mana ia harus menunaikan hak
suaminya dan kewajibannya terhadap anak-anaknya dengan memberikan
pendidikan dan menyiapkan kebutuhan mereka agar kelak anak-anak tersebut
dapat membawa agamanya dengan kekuatan dan kemuliaan. (Bahjatun
Nazhirin, 1/369)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar