Sabtu, 04 Mei 2013

KESEDIHAN YANG MENULIS RIWAYAT-RIWAYATNYA

“Aku akan mencintaimu seumur hidupku, selebihnya biar Tuhan yang merawat kesedihanmu”.
Langit begitu murung melepaskan rintik kesedihan, seolah-olah ia tahu; tak semua cinta bisa melimpahkan kebahagiaan.
“Kita pun tak pernah paham, untuk apa cinta menciptakan kebahagiaan”.
Di kedalaman matamu, yang timbul tenggelam, tak tersentuh perahu-perahu doamu, ialah kesedihanku: seandainya engkau tahu , dan mau tahu…(tapi waktu lebih sering menidurkan kesadaranmu)
Bahkan, jika engkau tak mampu mencintaiku, setidaknya engkau tidak menciptakan kesakitan-kesakitan di rahim waktu. Sebab, mencintaimu adalah merawat kesedihanmu, membahagiakan kesunyianmu.
Aku ingin menjadi sesuatu, yang hanya bisa kau pahami dengan denyut jantungmu; dengan rindu, dengan cemburu, dan birahi kesakitanmu.
“Cintailah aku semampumu, semampu engkau mengelabuhi waktu”.
Kepada waktu, telah kutitipkan rindu, agar cinta bersemayam tenang dalam rumah ingatanmu.
“Dan pada akhirnya, kenangan adalah tempat ternyaman bagi kecemasan-kecemasan berpulang…”
Lalu, untuk apa kususun katakata dalam puisi, jika sesuatu yg kuyakini abadi, hanya menyisakan riwayat-riwayat nyeri.
Di sudut kesunyian, di lengang malam yang baru saja tiba; Tuhan pun terdiam, tak memberi yang kesedihan minta.
Kita telah sama-sama menentukan sebuah jalan, jalan yg sama-sama tak ingin kita pilih, sebuah jalan; yg cinta sebut masa silam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar