Sabtu, 04 Mei 2013

SEBERAPA TABAH, KESEDIHANKU MEMELUK KEBAHAGIAANMU

“Sunyi adalah rahim puisi; tempat kata-kata pergi dan kembali.”
Di sudut kota, seorang laki-laki sibuk menuliskan kata-kata. Di sebuah kamar yang basah, seorang perempuan memeluk erat kesedihannya.
Laki-laki itu mengira, apa yang ditulisnya adalah jalan bahagia; jalan yang menggairahkan hidupnya, jalan yang menentramkan kepedihannya.
Laki-laki itu terus menulis; ia tuliskan kesedihannya, ia tuliskan cintanya; hingga pena ditangannya tak mampu lagi mengeluarkan airmata.
Ia tak pedulikan lagi, lampu-lampu kota yg telah lama mati. Baginya, kegelapan adalah cahaya bagi kesedihan.
Di sebuah kamar, sebelum laki-laki itu menuntaskan bait terakhir puisinya, seorang wanita menangis mengemasi perasaannya; perasaan-perasaan yang tak mampu lagi menidurkan kesedihan.
“Takdirku, mencintaimu. Takdirmu, melupakanku. Takdir cinta; biarlah milik airmata.”
Wanita itu mencoba membangunkan semua mimpi, ia coba tidurkan segala sunyi, berharap dalam hati; puisi yang dinanti tak lagi menyakiti.
Ia memejam, berharap langit malam tak menitikkan kesedihan. Luka, sesulit itukah engkau ditidurkan?
“Detik waktu, ialah detak aku mencintaimu. Detak waktu, ialah detik engkau melupakanku”
Akhirnya, dengan tabah laki-laki itu menyelesaikan bait terakhir puisinya “aku selalu mencintaimu, kapan pun engkau mau”.
Pada waktu sama, dengan khusyuk, wanita itu berdoa; “aku akan melupakanmu, sekuat ingatanku mencintaimu.”
Laki-laki itu bahagia dalam puisinya, wanita itu bahagia dalam doa-doanya. Cinta, adakah yg lebih tabah dari airmata?
Barangkali, kebahagiaan dan kesedihan, adalah seberapa tabah kita mampu mengingat dan melupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar