Sabtu, 04 Mei 2013

SEBELUM HUJAN MENJATUHKAN KESEDIHANNYA

Bukankah segala kebahagiaan telah pergi? Lalu, untuk apa engkau datang kembali?
“Aku tak tahu jalan pulang, tak ada tanda arah kebahagiaan.”, katamu, menghampiriku, setelah sekian waktu tak menjenguk kesakitanku.
“Bukankah aku hanyalah tanda kebahagiaan yang telah kau lupakan? Bukankah aku hanyalah tanda kebahagiaan yang menyesatkan”, kataku, menatap nanar binar matamu.
“Tunggu saja di seberang waktu, siapa tahu Tuhan menunjukkan arah pulang hatimu. Hatiku, telah melarang apapun parkir di situ, selain masalalu”. Kuyakinkan hatiku, masalalu tak akan pernah datang kembali seutuh dulu.
“Engkau masih saja seperti dulu, angkuh dan begitu pandai menyembunyikan kesedihanmu. Lihatlah, bukankah kesedihanku begitu telanjang di matamu?”. Aku pura-pura tak mendengarnya, tak ada yang sebaik ingatanku untuk merasakan kesakitanku.
“Sejak kau lambaikan tanganmu, aku sudah lupa apa sedih itu, aku sudah lupa asin airmata, aku sudah lupa segala yang pernah membuatku bahagia”. Tiba-tiba hujan menjatuhkan airmatanya, setelah sekian lama, dan bumi pun menyambutnya dengan riang gembira.
“Kali ini saja, aku minta telunjukmu mengarahkanku ke suatu penjuru, ke arah mana saja, asalkan itu membuatmu bahagia, kali ini saja…”, pintamu, dan kau pun tak hiraukan lagi hujan yang membasahi payung hitammu.
Kuarahkan telunjukku ke hatiku, lalu ke ingatanku, sebelum akhirnya telunjukku patah oleh waktu.
“Mencintaimu, ialah mengingat segala sesuatu yang membahagiakan hidupku. Mencintaimu, ialah melupakan rasa sakit dalam hidupku”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar