MENCINTAI DAN BERPISAH KARENA ALLAH
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim
... Hari itu di pemakaman, siang begitu terik dan menyengat. Para
pelayat yang kebanyakan berbaju hitam memadati lokasi pemakaman.
Diantara begitu banyak orang, perempuan cantik itu berdiri mengenakan
pakaian dan kerudung berwarna putih, ekspresi tenang terlihat di raut
wajah yang tersaput kesedihan.
Pada saat penguburan
berlangsung, sebelum jenazah dimasukkan ke liang lahat, perempuan itu
mendekati jenazah yang terbungkus kain kafan kemudian membisikkan
kata-kata tak terdengar dengan perasaan dan suasana yang sulit
kulukiskan.
Aku melihat keharuan diantara para pelayat
menyaksikan adegan itu. Perempuan itu adalah istri dari laki-laki yang
pada hari itu dikubur, kakak iparku, Zainab.
Setelah acara
penguburan selesai satu persatu pelayat mengucapkan kalimat duka cita
kepada perempuan tersebut yang menyambut ucapan itu dengan senyuman
manis dan kesedihan yang telah hilang dari wajahnya, seolah-olah pada
saat yang seharusnya menyedihkan itu dia merasa bahagia.
Kudekati kakak iparku. “Kak, yang sabar ya, insya Allah abang diterima
dengan baik di sisi-Nya,” ujarku perlahan. Dia menatapku dengan senyuman
tanpa kata-kata. Rasa penasaran menyeruak dalam hatiku melihat
ekspresinya. Tapi perasaan itu tidak kuungkapkan.
Beberapa hari
setelah pemakaman itu, aku datang ke rumah kak Zainab. Kudapati ia
sedang mengurus kembang mawar putih seperti apa yang sering
dilakukannya.
Kusapa dia dengan wajar, “Assalaamu’alaikum, sedang sibuk, kak?” tanyaku
“Wa’alaikusallam… Oh adik, ayo duduk dulu,” jawabnya seraya membereskan perlengkapan tanaman.
“Saya mengganggu kak?” tanyaku lagi,
“Kenapa harus mengganggu dik, ini kakak sedang merawat bunga agar
dzikir nanti malam tidak terganggu hal sepele sperti ini,” jawabnya.
Sesaat setelah jawaban terakhir suasana hening terjadi di antara kami.
Dengan hati-hati kuajukan perasaan yang selama beberapa hari mengganjal
dihatiku. “Kak, apakah kakak tidak merasa sedih dengan kepergian
abang?” tanyaku.
Dia menatapku dan berkata, “Kenapa adik bertanya seperti itu?”
Aku tidak segera menjawab karena takut dia tersinggung, dan, “Karena
kakak justru terlihat bahagia menurut adik, kakak tersenyum pada saat
pemakaman dan bahkan tidak mencucurkan airmata pada saat kepergian
abang,” ujarku.
Dia menatapku lagi dan menghela nafas panjang.
“Apakah kesedihan selalu berwujud air mata?” Sebuah pertanyaan yang
tidak sanggup kujawab.
Kemudian dia meneruskan kembali
perkataanya. “Kami telah bersama sekian lama, sebagai seorang perempuan
aku sangat kehilangan laki-laki yang kucintai, tapi aku juga seorang
istri yang memiliki kewajiban terhadap seorang suami. Dan keegoisanku
sebagai seorang perempuan harus hilang ketika berhadapan dengan tugasku
sebagai seorang istri,” katanya tenang.
“Maksud kakak?” aku tambah penasaran.
“Sebuah kesedihan tidak harus berwujud air mata, kadang kesedihan juga
berwujud senyum dan tawa. Kakak sedih sebagai seorang perempuan tapi
bahagia sebagai seorang istri. Abang adalah seorang laki-laki yang baik,
yang tidak hanya selalu memberikan pujian dan rayuan tapi juga teguran.
Dia selalu mendidik kakak sepanjang hidupnya.
Abang
mengajarkan kakak banyak hal. Dulu abang selalu mengatakan sayang pada
kakak setiap hari bahkan dalam keadaan kami tengah bertengkar. Kadang
ketika kami tidak saling menyapa karena marah, abang menyelipkan kata
sayang pada kakak dipakaian yang kakak gunakan.
Ketika kakak
bertanya kenapa? abang menjawab, karena abang tidak ingin kakak tidak
mengetahui bahwa abang menyayangi kakak dalam kondisi apapun, abang
ingin kakak tau bahwa ia menyayangi kakak. Jawaban itu masih kakak ingat
sampai sekarang. Perempuan mana yang tidak sedih kehilangan laki-laki
yang begitu menyayanginya? Tapi …”
Dia menghentikan kata-katanya.
“Tapi apa kak?” kejarku.
” Tapi sebagai seorang istri, kakak tidak boleh menangis,” katanya tersenyum.
“Kenapa?” tanyaku tidak sabar. Perlahan kulihat matanya menerawang.
“Sebagai seorang istri, kakak tidak ingin abang pergi dengan melihat
kakak sedih, sepanjang hidupnya dia bukan hanya laki-laki tapi juga
seorang suami dan guru bagi kakak. Dia tidak melarang kakak bersedih,
tapi dia selalu melarang kakak meratap, kata abang, Allah tidak suka
melihat hamba yang cengeng, dunia ini hanya sementara dan untuk apa
ditangisi.”
Perempuan itu melanjutkan, “pada satu malam setelah
kami sholat malam berjamaah, abang menangis, tangis yang tidak pernah
kakak lupakan, abang berkata pada kakak bahwa jika suatu saat di antara
kami meninggal lebih dahulu, masing-masing tidak boleh menangis, karena
siapa pun yang pergi akan merasa tidak tenang dan sedih, sebagai seorang
istri, kakak wajib menuruti kata-kata abang.”
“Pemakaman
bukanlah akhir dari kehidupan tapi adalah awal dari perjalanan, kematian
adalah pintu gerbang dari keabadian. Saat di dunia ini kakak mencintai
abang dan kita selalu ingin berada bersama dengan orang yang kita
cintai, abang adalah orang baik. Dalam perjalanan waktu abang lah yang
pertama kali dicintai Allah dan diminta untuk menemui-Nya, abang selalu
mengatakan bahwa baginya Allah SWT adalah sang Kekasih
dan
abang selalu mengajarkan kakak untuk mencintai-Nya. Saat seorang Kekasih
memanggil apakah kita harus bersedih? Abang bahagia dengan
kepergiannya. Dalam syahadatnya abang tersenyum dan sungguh egois jika
kakak sedih melihat abang bahagia,” sambungnya.
Tanpa
memberikan kesempatan untuk aku berkata, serangkaian kata terus mengalir
dari perempuan itu, “Kakak bahagia melihat abang bahagia dan kakak
ingin pada saat terakhir kakak melihat abang, kakak ingin abang tau
bahwa baik abang di dunia maupun di akhirat kakak mencintainya dan
berterima kasih pada abang karena abang telah meninggalkan sebuah harta
yang sangat berharga untuk kakak yaitu cinta pada Allah SWT.
Dulu abang pernah mengatakan pada kakak jika kita tidak bisa bersama di
dunia ini kakak tidak perlu bersedih karena sebagai suami istri, kakak
dan abang akan bertemu dan bersama di akhirat nanti bahkan di surga
selama kami masih berada dalam jalan Allah.
Dan abang telah
memulai perjalanannya dengan baik, doakanlah kakak ya dik semoga kakak
bisa memulai perjalanan itu dengan baik pula. Kakak sayang abang dan
kakak ingin bertemu abang lagi.”
Kali ini kulihat kakak tersenyum dan dalam keheningan taman aku tak mampu berkata-kata lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar