Suatu pagi
seorang perempuan gelandangan yang buta matanya beserta anak perempuan
tunggalnya yang berumur 6 tahun duduk dipinggir jalan di sebuah
keramaian kota. Dengan sisa kesehatan yang ia miliki sang ibu terus
bertahan hidup selaras dengan terus menjalarnya kanker ganas di ke dua
paru-parunya yang ia derita selama lebih dari dua tahun.
Sang ibu berusaha selalu tersenyum
kepada anak tunggalnya...itu disaat ia berbicara kepada sang ibu, agar
bidadari kecilnya itu dapat tumbuh dengan senang dan sehat tanpa
terbebani oleh penyakit ibunya. Sang ibu selalu memberi senyuman kepada
sang anak walaupun si bocah belum tentu menatap wajah si ibu. Ia tidak
mau berbagi duka kepada anaknya. Namun bocah kecil itu mulai merasakan
kepayahan ibunya dikala sang ibu mulai mengeluarkan darah dari mulutnya
pada saat batuk. Sang bocah perempuan tersebut mulai gelisah dan
mengerti keadaan ibunya yang sebenarnya. Dengan bergegas sang anak
menuntun sang ibu untuk memeriksa kesehatannya dan berobat ke sebuah
rumah sakit terdekat sejauh 1 km. Dengan begitu setianya sang anak
perempuan kecil itu terus menuntun dan menuntun ibu tercintanya menuju
rumah sakit agar kesembuhan bisa didapati oleh sang ibu.
Setibanya di rumah sakit si wanita buta itu diperiksa oleh dokter ahli
paru-paru namun beliau tidak mendapatkan obat dari dokter ..... tetapi
sang dokter hanya berkata, "penyakit kanker paru-paru yang ibu derita
sudah terlalu parah, hanya keajaiban yang mampu menyelamatkan anda". Si
anak hanya dapat mendengar kalimat yang diucapkan oleh dokter tetapi ia
tidak mengerti maksud dari ucapannya itu. Mereka berdua akhirnya pergi
meninggalkan Rumah Sakit tersebut.
Sejak hari itu dengan seizin
ibunya, bocah perempuan yang berpakaian kumal hampir setiap hari ia
selalu meninggalkan sang ibu untuk mencari dan membeli obat ke banyak
apotik.
Setiap kali ia mendatangi apotik yang berbeda, anak
perempuan itu selalu bertanya kepada sang apoteker dengan pertanyaan
yang sama, yaitu :
Sang anak : "Permisi ibu ..... apakah ibu
menjual keajaiban ?". Sang apoteker pun dibuatnya bingung sebab
pertanyaan bocah perempuan tersebut.
Apoteker : "Mengapa kamu mencari sebuah keajaiban, nak ?”, tanya sang apoteker.
Sang anak : "Karena seorang dokter berkata kepada ibuku .... hanya keajaibanlah yang dapat menyelamatkan ibuku".
Sang anak : "Apakah saya dapat membelinya (keajaiban) diapotik ini",
sambil menunjukkan 3 lembar uang kertas dan beberapa uang recehan di
kedua genggaman tangan mungilnya.
Apoteker : "Sakit apa ibumu,
nak ?", sang apoteker menunjukkan perhatiannya dengan berlutut sambil
memegang kedua tangan sang bocah.
Sang anak : "Kanker paru-paru, dan hanya keajaiban sebagai obatnya menurut dokter ", jawab sang bocah.
Apoteker : "Bersabarlah kamu nak", sambil menangis sang apoteker memeluk bocah perempuan kecil itu.
Sang anak : "Sudah banyak orang seperti ibu yang memeluk diriku di
setiap apotik yang aku datangi tetapi tidak ada satu pun diantara mereka
yang bisa memberikan aku sebuah keajaiban. Yang aku butuhkan adalah
sebutir obat keajaiban, bukan sebuah pelukan. Hatiku tidak bisa tenang
melihat ibuku dalam keadaan payah sebab penyakitnya walupun seluruh
penduduk di kota ini memeluk diriku. Hanya pelukan ibuku yang bisa
membuatku tenang dan terlelap tidur. Ibu .... tolong berikan aku obat
keajaiban .... satu butir saja .... dan ambillah uang yang ada di
genggamanku ini !".
Apoteker : "Maaf nak, ibu tidak menjual
obat yang satu itu". Sang apoteker terus berlinangan air mata di kedua
pipinya dan terus bertanya ……
Apoteker : “Dimana rumahmu, nak ?”
Sang anak : “Dimana pun ibuku berada .... disitulah rumahku !”, jawab sang anak. Kemudian ia pergi meninggalkan apotik.
Sebab jawaban anak kecil itu sang wanita apoteker menjadi terperanjat.
Wanita itu terus mengikuti kemanapun sang bocah melangkah hingga pada
suatu tempat bocah kecil itu merapat dipelukan ibunya yang buta dan
langsung tertidur pulas.
Dengan kejadian pada hari itu, sang
wanita apoteker terus mendatangi tempat bocah kecil beserta ibunya
bekumpul setiap hari minggu dan melihat mereka berdua dari kejauhan.
Hingga 2 bulan kemudian ia menjumpai sang bocah perempuan tersebut
ditempat yang sama tanpa ibunya. Ia duduk sendiri dan menangis sambil
memeluk dadanya dalam-dalam dengan menyilangkan ke dua tangannya di
dadanya. Wanita apoteker itu akhirnya mendekatinya dan berkata ……
Apoteker : “Hai manis ….. masih ingatkah kamu padaku ?”, tanya wanita itu.
Sang anak : Ia hanya menatap wanita itu dan menggelengkan kepala.
Apoteker : “Dimana ibumu, nak ?”
Sang anak : “Di dalam hatiku !”, jawab sang anak sambil memeluk terus dadanya.
Apoteker : “Apa maksudmu, nak ?”, tanya wanita itu.
Sang anak : “Ibuku telah meninggal dunia 2 hari yang lalu. Ia selalu
membuat hatiku tenang dan tertidur pulas dalam pelukannya. Kini
giliranku memeluknya di dalam hatiku agar ia tertidur lelap dan tenang
selamanya dalam benakku. Sulit bagiku untuk melupakannya, karena
senyumannya …. ia adalah wanita yang paling cantik dalam hidupku”, jawab
sang anak.
Teman ….. dari kisah di atas kita dapat memetik sebuah pelajaran.
Seorang ibu yang buta matanya dan tidak dapat melihat siapapun
disekitarnya, tetapi ia bisa memberi senyuman setiap saat kepada
anaknya. Di sisi lain banyak ibu yang bisa melihat siapapun
disekitarnya, namun jarang sekali memberi senyuman pada anak-anaknya dan
bahkan selalu memarahi mereka.
Seorang ibu yang tidak bisa
memberi rumah secara lahiriah bagi anaknya, namun ia bisa memberikan
rumah batin bagi anaknya. Di sisi lain banyak ibu yang sanggup memberi
rumah secara lahiriah bagi anak-anaknya tetapi ia tidak bisa menjadi
tempat ketenangan batin bagi anak-anak mereka.
Semoga ibu kita bisa menjadi rumah batin bagi kita semua anak-anaknya …… amiin.
Teman …… mulailah kedamaian hati dengan memberi senyuman dan berlisan yang penuh kesantunan kepada siapapun !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar